:.R.A.E.:
TONK SAMPAH poenya RIDWAN A EDHY

Contek Menyontek



Saat ini di sekolah-sekolah baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi telah melaksanakan Ujian Tengah Semester maupun Ujian Akhir Semester. Peserta ujian dalam hal ini siswa maupun mahasiswa berusaha untuk menyelesaikaan soal atau permasalahan yang telah disiapkan oleh penguji (guru maupun dosen) agar memperoleh hasil belajar sesuai dengan apa yang telah diterimanya selama melaksanakan proses pembelajaran. Suatu permasalahan klasik muncul, dimana ada peserta didik yang melakukan suatu tindakan yang dalam kehidupan sehari-hari yang sering kita namakan “menyontek”.
“Menyontek” merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai “menyontek” mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar.
Dalam konteks kehidupan bangsa saat ini, tidak jarang kita mendengar asumsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa koruptor-koruptor besar, penipu-penipu ulung mungkin adalah penyontek-penyontek berat ketika mereka masih berada di bangku sekolah. Atau sebaliknya, mereka yang terbiasa “menyontek” di sekolah, memiliki potensi untuk menjadi koruptor, penipu, dan penjahat krah putih dalam masyarakat nanti. Mengapa para pendidik dan para peneliti begitu tertarik mempersoalkan masalah “menyontek”? Dalam menjawab pertanyaan ini paling tidak terdapat dua alasan yang mendasar yaitu: (a) “menyontek” jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar (fundamental) pendidikan; (b) “menyontek” dalam segala bentuknya membawa resiko negatif terhadap siswa, sekolah, dan masyarakat (Admin, 2004).
Nugroho (2008) mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat tentang hasil poling yang dilakukannya atas siswa-siswi SMP di Surabaya mengenai persoalan menyontek dengan hasil yang lumayan mengejutkan. Data itu menyebutkan bahwa, jumlah penyontek langsung tanpa malu-malu kucing mencapai 89,6 persen, langsung bertanya kepada teman mencapai 46,5 persen. Sedangkan 20 persen lebih berhati-hati pakai kode dan 14,9 persen mengandalkan lirikan. Untuk jumlah responden yang lulus dari “sensor” guru, sejumlah 65,3 persen.
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah: (a) untuk memberikan informasi tentang pengertian “menyontek” dan faktor penyebab “menyontek” (b) untuk memahami “menyontek” dari tinjauan moral dan tinjauan psikologis, dan (c) memberikan masukan tentang cara-cara penanggulangan “menyontek” di sekolah.
“Pengertian ”Menyontek”
Pengertian menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Purwadarminta sebagai suatu kegiatan mencontoh/ meniru/ mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Cheating (menyontek) menurut Wikipedia Encyclopedia sebagai suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pelanggaran aturan main yang ada.
Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Pendapat Bower ini juga senada dengan Deighton (1971) yang menyatakan “Cheating is attempt an individuas makes to attain success by unfair methods.” Maksudnya, cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas ataupun take home test.
Dalam perkembangan mutakhir “menyontek” dapat ditemukan dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam UMPTN/SMPTN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun rasional.
Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain, menyalin skripsi, tesis, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya dalam ujian sebagai karyanya sendiri. Ternyata praktik “menyontek” banyak macamnya, dimulai dari bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Teknik “menyontek” tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin canggih pula bentuk ”menyontek” yang bakal menyertainya. Bervariasi dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai “menyontek” maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar pernah melakukan ”menyontek” meskipun mungkin wujudnya sangat sederhana dan sudah dalam kategori yang dapat ditolerir.
Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, ”menyontek” tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran, perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan “menyontek” dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar.
“Faktor Penyebab “Menyontek”
Menurut Nugroho (2008), yang menjadi penyebab munculnya tindakan ”menyontek” bisa dipengaruhi beberapa hal. Baik yang sifatnya berasal dari dalam (internal) yakni diri sendiri maupun dari luar (eksternal) misalnya dari guru, orang tua maupun sistem pendidikan itu sendiri.
1.      Faktor dari dalam diri sendiri
·         Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal. Biasanya disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan malas dan kurangnya waktu belajar.
·         Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.
·         Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting untuk bertahan.
·         Merupakan bentuk pelarian/protes untuk mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan pelajaran yang disampaikan kurang dipahami atau tidak mengerti dan sehingga merasa tidak puas oleh penjelasan dari guru/dosen.
·         Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang kurang tepat, yakni merasa ada pelajaran yang penting dan tidak penting sehingga mempengaruhi keseriusan belajar.
·         Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi sehingga pelajar selalu mencari jalan keluar yang mudah dan cepat ketika menghadapi suatu persoalan termasuk test/ujian.
·         Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat keimanan.
2.      Faktor dari Guru
·         Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
·         Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif. Akibatnya soal yang diberikan antara satu kelas dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari tahun ke tahun tidak mengalami variasi soal.
·         Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
·         Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.
3.      Faktor dari Orang Tua
·         Adanya hukuman yang berat jikalau anaknya tidak berprestasi.
·         Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan keunikan masing-masing dari anaknya, sehingga yang terjadi pemaksaan kehendak
4.      Faktor dari Sistem Pendidikan
·         Meskipun pemerintah terus memperbaharui sistem kurikulum yang ada, akan tetapi sistem pengajarannya tetap tidak berubah, misalnya tetap terjadi one way yakni dari guru untuk siswa.
·         Muatan materi kurikulum yang ada seringkali masih tumpang tindih dari satu jenjang ke jenjang lainnya yang akhirnya menyebabkan pelajar/siswa menganggap rendah dan mudah setiap materi. Sehingga yang terjadi bukan semakin bisa melainkan pembodohan karena kebosanan.
Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat Smith yang menemukan bahwa keputusan moral (moral decision) dan motivasi untuk berprestasi/ ketakutan untuk gagal menjadi alasan yang signifikan seseorang untuk melakukan ”menyontek”. Alhadza juga pernah melakukan penelitian dengan menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan menyontek dengan pengelompokan sebagai berikut.
  1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan “menyontek” meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
  2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
  3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
  4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
  5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
  6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
  7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
  8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
  9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
  10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
  11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
  12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
  13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
“Menyontek” di tinjau dari Aspek Psikologis”
Dalam kajian psikologi tidak ditemukan pembahasan yang secara khusus membicarakan tentang ”menyontek”, tetapi dapat disepakati bahwa “menyontek” adalah salah satu wujud dari perilaku, bahkan salah satu bentuk ekspressi dari kepribadian seseorang. Burt, seperti dikutip oleh Suryabrata (1995), mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh pada tingkah laku manusia, yaitu faktor G (General), yakni dasar yang dibawa sejak lahir, faktor S (specific) yang dibentuk oleh pendidikan dan faktor C (Common/Group) yang didapatkan dari pengaruh kelompok. Jika dihubungkan dengan perbuatan ”menyontek”, maka aktivitas ”menyontek” itu adalah merupakan pengaruh dari faktor C. Lebih lanjut dikatakan bahwa Faktor C lebih luas atau lebih kuat daripada faktor S. Dengan demikian, perilaku ”menyontek” banyak diakibatkan oleh pengaruh kelompok dimana orang cenderung berani melakukan karena melihat orang lain di kelompoknya juga melakukan. Apabila kecenderungan ini berlangsung secara terus-menerus, maka ”menyontek” akan menjadi kebiasaan seseorang, yang akan ditransfer tidak hanya pada kegiatan sekolah lainnya tetapi kepada kegiatan kemasyarakatan pada umumnya berdasarkan prinsip transfer of learning.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa “menyontek” bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi tertekan (underpressure), atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk “menyontek”. Dalam hal seperti itu maka, perilaku “menyontek” menunggu kesempatan atau peluang saja, karena teori kriminal mengatakan bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
“Menyontek” ditinjau dari Aspek Moral”
Salah satu yang membedakan manusia dengan hewan ialah karena manusia itu adalah mahluk susila. Suryabrata (1995) mengemukakan adanya perasaan kesusilaan yang tidak lain dari perasaan tentang baik dan buruk yang dikaitkan dengan norma-norma tertentu. Seseorang akan merasakan puas apabila telah melakukan hal yang baik, sebaliknya seseorang akan merasakan penyesalan apabila telah melakukan hal tidak baik. Atkinson dalam Admin (2004) mengemukakan bahwa perilaku moral tergantung pada sejumlah faktor kemampuan yaitu: (a) berpikir tentang dilema moral, (b) mempertimbangkan akibat jangka panjang dari setiap tindakan, dan (c) merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dan dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki naluri dan kemampuan membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar, dan oleh karenanya manusia memiliki potensi yang equal antara berbuat baik dengan berbuat jahat. Melalui kemampuan kognitifnya manusia dapat melakukan penalaran moral, namun terbukti bahwa penalaran moral mempunyai korelasi yang rendah dengan perilaku moral.
Kohlberg dalam Pidarta (2000) mengemukakan ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi yaitu:
1.      Tingkat prekonvensional
a.       Orientasi kepatuhan dan hukuman seperti kebaikan dan keburukan
b.      Orientasi egois yang naif seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan orang lain
2.      Tingkat Konvensional
a.       Orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik ialah bila disenangi orang lain
b.      Orientai mempertahankan peraturan dan norma sosial, seperti perilaku yang baik ialah yang sesuai dengan haarapan keluarga, kelompok atau bangsa
3.      Tingkat Post-konvensional
a.       Orientasi kontrak sosial yang legal seperti tindakan yang betul ialah yang mengikuti standar masyarakat
b.      Orientasi prinsip etika seperti tindakan yang betul ialah melatih kesadaran mengikuti keadilan dan kebenaran universal.
Terkait dengan masalah “menyontek”, dapat diinterpretasikan bahwa mereka yang melakukan praktek ”menyontek” bukanlah karena naluri mereka telah tumpul dalam membedakan bahwa ”menyontek” itu salah atau benar, bukan pula karena nalar moral mereka tidak tahu bahwa itu baik atau buruk, tetapi penyontek kadang kala berada pada kondisi yang menuntut dirinya untuk ”menyontek”. Isu moral memang bukan sekedar faktor pengetahuan dan penalaran yang mampu membedakan baik dengan buruk tetapi lebih erat terkait dengan faktor kondisional. Faktor kondisional adalah suatu keadaan yang memungkinkan, mengundang, dan bahkan memfasilitasi seseorang untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan ujian, faktor kondisional antara lain mencakup materi ujian, pengawasan, instrumen evaluasi, cara penilaian, objektivitas, sikap atau cara penilai dsb.
“Cara Penanggulangan menyontek”
Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu: (1) Faktor individual atau pribadi dari penyontek, 2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi dan (4) faktor guru/dosen atau penilai.
Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut:
1)      Faktor pribadi dari penyontek
a)      Bangkitkan rasa percaya diri
b)      Arahkan self consept mereka ke arah yang lebih proporsional
c)      Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius
2)      Faktor Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
3)      Faktor Sistem Evaluasi
a)      Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap)
b)      Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif
c)      Lakukan pengawasan yang ketat
d)     Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
4)      Faktor Guru/ Dosen
a)      Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
b)      Bersikap rasional dan tidak ”menyontek” dalam memberikan tugas ujian/tes.
c)      Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
d)     Berikan umpan balik atas setiap penugasan.
Penutup
“Menyontek” adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, ”menyontek” lebih sarat dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis.
Dalam batas-batas tertentu ”menyontek: dapat dipahami sebagai sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan ”menyontek” bisa terjadi pada setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi antara perilaku ”menyontek” di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa ”menyontek” bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek ”menyontek” dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian seseorang. Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek ”menyontek” sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya ”menyontek” sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku ”menyontek”. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa ”menyontek” adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa.
Mencegah ”menyontek” tidaklah cukup dengan sekedar mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya ”menyontek”, yaitu pada faktor siswa/ mahasiwa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan pada diri guru/dosen.
Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan ”menyontek” dan terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek menyontek di dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik yang diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan maupun yang diselenggarakan secara individual oleh setiap guru atau dosen.

0 komentar:

Posting Komentar

Laris Manis

Jama'ah


ShoutMix chat widget

Toko Baju Online