:.R.A.E.:
TONK SAMPAH poenya RIDWAN A EDHY

Pendidikan Bahasa Arab



SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB

A.       Bahasa Arab di Dunia Modern

Bahasa Arab (اللغة العربية al-lughah al-`Arabīyyah), atau secara mudahnya Arab (عربي `Arabī), adalah sebuah bahasa Semitik yang muncul dari daerah yang sekarang termasuk wilayah Arab Saudi. Bahasa ini adalah sebuah bahasa yang terbesar dari segi jumlah penutur dalam keluarga bahasa Semitik.
Bahasa ini berkerabat dekat dengan bahasa Ibrani dan bahasa Aram. Bahasa Arab Modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3. Bahasa-bahasa ini dituturkan di seluruh Dunia Arab, sedangkan Bahasa Arab Baku diketahui di seluruh Dunia Islam.
Bahasa Arab Modern berasal dari Bahasa Arab Klasik yang telah menjadi bahasa kesusasteraan dan bahasa liturgi Islam sejak lebih kurang abad ke-6. Abjad Arab ditulis dari kanan ke kiri.
Bahasa Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa Eropa turut meminjam banyak kosakata dari bahasa Arab.

B.       Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia

Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:
Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan kitâbah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.
Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam Jakarta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong “miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan penulis, yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab.
Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif “tertolong” oleh keberadaan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd di Riyâdh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber belajar yang relatif memadai, melainkan juga membantu PBA memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa Arab untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN Jakarta, mungkin nasib PBA tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di luar Jakarta.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil “ijtihad institusional” masing-masing, bukan merupakan “ijtihad struktural” (baca: Depag RI). Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi PBA-PBA lainnya –antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi PBA-PBA lainnya—namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis)[3], keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.

C.       Posisi Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia

1.             Bahasa Arab Sebagai Bahasa Agama Verbal
Sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pengajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan hanya terbatas pada doa-doa shalat dan surat-surat pendek al-Qur’an yang lazim dikenal dengan juz ‘amma. Metode yang lazim digunakan ialah metode abjadiyah (alphabetical method) yang terkenal dengan nama metode baghdadiyah. Metode ini menekankan pada kemampuan membaca huruf-huruf al-Qur’an (al-huruf al-hija’iyah) yang dimulai dari: (a) penyebutan huruf dengan namanya satu persatu dari alif samapai ya’ secara abjad sampai murid hafal nama-nama huruf tersebut secara terpisah atau satu persatu, kemudian (b) diajarkan kata-kata yang terdiri dari dua huruf , lalu tiga huruf, dan begitu seterusnya yang diberikan secara bertahap,
kemudian meningkat pada (c) pengajaran harakat, dimulai dengan menyebutkan huruf yang disertai dengan nama harakatnya.

2.             Bahasa Arab Sebagai Media/alat untuk Memahami Agama
Seiring dengan berkembangnya waktu, metode dan pola pengajaran yang pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pengajaran bahasa Arab verbalistik sebagai mana di atas tidak cukup, karena al-Qur’an tidak hanya untuk dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, muncullah pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.
Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua ini tumbuh dan berkembang di berbagai pondok pesantren salaf. Materi yang diajarkan mencakup fikih, aqidah, akhlaq, hadits, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa rab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari berbagai abad di masa lalu. Metode yang digunakan adalah metode gramatika-tarjamah (thariqah al-qawa’id wa al-tarjamah/grammar-translation method) dengan teknik penyajian yang masih relatif tradisional, di mana guru (Kiai) dan para murid (santri) masing-masing memegang buku (kitab). Guru membaca dan mengartikan kata demi kata atau kalimat demi kalimat ke dalam bahasa daerah khas pesantren yang telah didekatkan kepada sensivitas bahasa Arab. Sedangkan tata bahasa (qawa’id) bahasa Arab diselipkan ke dalam kata-kata tertentu sebagai simbol yang menunjukkan fungsi suatu kata dalam kalimat. Santri hanya mencatat arti setiap kata atau kalimat Arab yang diucapkan artinya oleh guru, tanpa adanya interaksi verbal yang aktif dan produktif antara kiai dan santrinya.

3.             Bahasa Arab Sebagai Media Komunikasi
Meski pola pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua di atas sangat dominan berlaku di berbagai pondok pesantren salaf hingga kini, dan diakui kontribusinya dalam memberikan pemahaman umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya, namun tuntutan dunia komunikasi pada gilirannya menggiring perubahan baru pola pengajaran bahasa Arab. Interaksi antar bangsa menuntut umat Islam untuk tidak sekedar memiliki kemampuan berbahasa Arab reseptif (pasif), tetapi kemampuan berbahasa yang lebih aktif dan produktif. Semangat pembaruan ini diperkuat dengan munculnya para cendikiawan dan intelektual muda muslim dengan nuansa pemikiran yang segar, sekembali mereka dari menuntut ilmu di negeri pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah, terutama Mesir.
Pada masa inilah metode langsung (direct method / al-thariqah al-mubasyirah) mulai diterapkan dalam pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga ini terdapat di berbagai pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam modern sejak awal abad ke-19. Dimulai di Padang Panjang oleh ustadz Abdullah Ahmad, Madrasah Adabiyah (1909), dua bersaudara Zaenuddin Labay al-Yunusi dan Rahmah Labay el-Yunusiyah, Diniyah Putra (1915) dan Diniyah Putri (1923), dan ustadz Mahmud Yunus, Normal School (1931). Kemudian ditumbuh-kembangkan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah Gontor Ponorogo.
Dalam sistem pengajaran bentuk ketiga ini, pelajaran agama pada tahun pertama diberikan sebagai dasar saja dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sementara itu, sebagaian besar perhatian siswa dicurahkan kepada pelajaran bahasa Arab dengan metode langsung. Pada tahun kedua, ilmu tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) mulai diberikan dalam bahasa Arab dengan metode induktif (al-thariqah al-istiqra’iyah), ditambah dengan latihan intensif qira’ah (reading), insya’ (writing), dan muhadatsah (speaking/conversation). Pelajaran agama juga disajikan dalam bahasa Arab. Dalam masa belajar enam tahun (pasca sekolah dasar), seorang lulusan perguruan Islam modern ini (setara dengan lulusan SLTA/SMA) telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulis, serta mampu membaca buku berbahasa Arab dalam berbagai subyek pengetahuan.
Dalam perkembangannya, pengajaran bahasa Arab di perguruan Islam modern ini tidak hanya menggunakan metode langsung tapi mengikuti pembaruan-pembaruan yang terjadi di dunia pengajaran bahasa, misalnya metode aural-oral (al-thariqah al-sam’iyah al-syafawiyah) dan pendekatan komunikatif (al-thariqah al-itthishaliyah).

·        Bentuk Integrasi
Selanjutnya, dari obsesi para pemerhati pengajaran bahasa Arab yang ingin mengintegrasikan antara bentuk pengajaran bahasa Arab yang kedua dan ketiga, maka muncullah bentuk pengajaran bahasa Arab keempat yaitu bentuk integrasi. Pada fase ini tujuan pengajaran bahasa Arab memiliki dua arah, yaitu pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan kemahiran berbahasa dan pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan pengetahuan lain dengan menggunakan wahana bahasa Arab. Selain itu, jenis bahasa yang dipelajari mencakup dua bahasa, yaitu bahasa Arab klasik dan modern. Penggabungan ini di satu sisi memiliki kelebihan karena dapat memberdayakan kompetensi peserta didik secara komprehensif, namun di sisi lain melahirkan ketidakmenentuan, karena keterbatasan sel-sel otak peserta didik untuk mengakomodasi keduanya secara bersamaan.
Ketidakmenetuan ini bisa dilihat dari berbagai segi. Pertama dari segi tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab untuk menguasai kemahiran berbahasa atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab modern, atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga dari segi metode, terdapat kegamangan antara mempertahankan metode yang lama atau menggunakan metode yang baru.
Meskipun demikian, pengajaran bahasa Arab bentuk keempat ini telah banyak dipergunakan hingga kini di berbagai lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) di Indonesia. Kebijakan ini diambil karena bentuk integrasi ini dipandang lebih aspiratif dengan perkembangan abad globalisasi, dengan terus mengupayakan berbagai cara untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya. Begitu pula dengan kegamangan yang ada, setidaknya dapat memacu para pemerhati pengajaran bahasa Arab untuk menghadirkan tawaran positif bagi pengembangan metodologi pengajaran bahasa Arab.
Akhirnya, bentuk-bentuk pengajaran bahasa Arab yang telah diuraikan di atas masih tetap eksis dan dipergunakan hingga saat ini, tentu dengan modifikasi, inovasi dan perkembangan masing-masing. Jika pengajaran bahasa Arab bentuk pertama dahulu berada di surau dan masjid, kini berkembang menjadi TPQ/TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menjamur bukan hanya di pedesaan tapi juga marak di perkotaan. Metode yang digunakan semakin berkembang menjadi lebih praktis dan bervariasi, tidak hanya metode eja/abjad, tapi juga menggunakan metode iqra’, al-barqi, hattawiyah, al-nur dan sejenisnya. Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kesdaran akan perlunya menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak sejak usia dini.
Sementara itu, pengajaran bahasa Arab bentuk kedua masih tetap dipertahankan di pondok-pondok pesantren salaf. Sedangkan pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga yang menekankan bahasa Arab sebagai alat komunikasi banyak dipergunakan di pondok pesantren modern, dan berbagai lembaga pendidikan Islam modern. Adapun pengajaran bahasa Arab bentuk keempat juga masih tetap dipergunakan hingga kini di lemabaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) dan terus diupayakan penyempurnaannya, baik dari segi kurikulum, orientasi pengajarannya, materi yang diajarkan, metode dan strategi pengajarannya, serta media yang digunakan.

D.       Pendidikan Bahasa Arab di Barat

Bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang sulit. “Bahasa Arab memberikan sejumlah tantangan bagi mereka yang menggunakan bahasa Inggris,” kata Dr. Omran.
Tantangan itu misalnya dari cara membacanya dari kanan ke kiri, bunyi hurufnya yang masih terasa asing bagi pemakai bahasa Inggris dan tata bahasanya yang agak pelik.
Dr Omran sudah lebih dari 20 tahun mengajar bahasa Arab bagi mahasiswa Amerika. Ia mengatakan, dengan sedikit kerja keras dan komitmen, setiap orang bisa cepat menguasai bahasa Arab dan lancar bicara dengan menggunakan bahasa itu.
Namun menurut Dr. Michael Cooperson yang sudah mengajar bahasa Arab di sejumlah universitas bergengsi di AS seperti Harvard dan UCLA, tingkat kesulitan belajar bahasa Arab tergantung pada bahasa yang sering dipakai oleh mahasiswa bersangkutan. “Jika bahasa yang selalu digunakan berdialek sama dengan bahasa Arab, ini menguntungkan. Termasuk jika sebelumnya ada sudah biasa bicara dengan bahasa Hebrew atau bahasa Semit lainnya,” kata Dr Cooperson.


Sumber : http://kiflipaputungan.wordpress.com
0 komentar:

Posting Komentar

Laris Manis

Jama'ah


ShoutMix chat widget

Toko Baju Online